2. Politik luar negeri Indonesia bersifat konfrontatif
Pada masa demokrasi terpimpin, politik luar negeri yang dipraktikkan adalah politik luar negeri yang revolusioner. Dalam beberapa hal politik luar negeri Indonesia sarat konfrontasi karena masa itu oleh Pemerintah Presiden Soekarno dianggap sebagai masa konfrontasi. Diplomasi yang revolusioner, diplomasi yang konfrontatif, diplomasi perjuangan, diplomasi yang mau merombak dan menyusun suatu suasana dan perimbangan baru antara negara-negara dipakai sebagai alat politik luar negeri. Presiden Soekarno memperkenalkan doktrin politik baru. Doktrin itu mengatakan bahwa dunia terbagi dalam dua blok, yaitu “Oldefos” (Old EstablishedForces) dan “Nefos” (New Emerging Forces). Soekarno menyatakan bahwa ketegangan-ketegangan di dunia pada dasarnya akibat dari pertentangan antara kekuatan-kekuatan orde lama (Oldefos) dan kekuatan-kekuatan yang baru bangkit (Nefos). Imperialisme, kolonialisme, dan neokolonialisme mengabdi Pada kekuatan lama. Saat pemerintah Indonesia menganut system demokrasi terpimpin, cita-cita politik luar negeri yang bebas-aktif tidak tercapai. Terjadi penyimpangan- penyimpangan. Negara Indonesia ternyata tidak bebas dari blok-blok negara lain, tetapi justru condong ke arah blok sosialis-komunis.
Karena politik luar negeri Indonesia bersifat konfrontatif, revolusioner dan cenderung berpihak ke blok timur, maka pergaulan Indonesia di dunia internasional menjadi semakin sempit. Berikut ini adalah beberapa kebijakan luar negeri yang dilakukan pemerintah pada masa demokrasi terpimpin.
Memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda (17 Agustus 1960).
Mengirim kontingen pasukan perdamaian (pasukan Garuda II) ke Kongo (10 September 1960).
Indonesia ikut terlibat dalam Gerakan Non Blok (September 1961).
Pembebasan Irian Jaya (1962).
Konfrontasi dengan Malaysia (1963).
Menyelenggarakan Ganefo I (Games of the New Emerging Forces) (1963).
Indonesia keluar dari keanggotaan PBB (1964).
Mempraktikkan politik luar negeri yang condong ke negara-negara sosialis-komunis (blok timur).
Indonesia membuka hubungan poros Jakarta—Peking (Indonesia—RRC) dan poros Jakarta—Pnom Penh—Hanoi—Peking— Pyongyang (Indonesia — Kamboja — Vietnam Utara—RRC—Korea Utara). Presiden Soekarno dengan politik mercusuarnya berpendapat bahwa Indonesia merupakan mercusuar yang mampu menerangi jalan bagi Nefo di seluruh dunia. Dengan politik mercusuar, Indonesia
mengambil posisi sebagai pelopor dalam memecahkan masalah-masalah internasional pada masa itu. Dengan demikian Indonesia akan diakui sebagai negara yang pantas diperhitungkan di Asia.
Pada praktiknya, politik mercusuar merugikan masyarakat secara nasional. Dengan demikian, jelaslah bahwa dalam masa demokrasi terpimpin, sistem politik yang diberlakukan juga menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945.
3. Konfrontasi dengan Malaysia
Rencana pembentukan negara Federasi Malaysia yang diprakarsai Inggris menimbulkan persoalan
baru bagi negara-negara yang berdampingan, misalnya Indonesia, Filipina, dan Malaya. Indonesia secara tegas menentang pembentukan Federasi Malaysia. Indonesia menganggap pembentukan Federasi Malaysia adalah proyek neokolonialis Inggris yang membahayakan revolusi Indonesia. Satu pangkalan militer asing yang ditujukan antara lain untuk menentang Indonesia dan juga menentang New Emerging Forces di Asia Tenggara. Oleh karena itu, pembentukan federasi itu harus digagalkan. Pemerintah Indonesia, Malaya, dan Philipina mengadakan beberapa kali pertemuan untuk menuntaskan permasalahan tersebut. Perundingan dilaksanakan dari bulan April – September 1963. Berikut ini adalah rangkaian pertemuan ketiga negara yang membahas masalah pembentukan negara federasi Malaysia.
- Tanggal 9–17 April 1963. Di Philipina, para menteri luar negeri ketiga negara bertemu untuk membicarakan masalah pembentukan Federasi Malaysia, kerja sama antarketiga negara, dan mempersiapkan pertemuan-pertemuan selanjutnya.
- 1 Juni 1963. Presiden Soekarno (Indonesia) dan PM Tengku Abdul Rachman (Malaya) mengadakan
- pertemuan di Tokyo, Jepang. PM Malaya menyatakan kesediaannya untuk membicarakan masalah yang sedang dihadapi dengan Presiden RI dan Presiden Filipina, baik mengenai masalah-masalah yang menyangkut daerah Asia Tenggara maupun rencana pembentukan Federasi Malaysia.
- Tanggal 7–11 Juni 1963. Menteri luar negeri Malaya, Indonesia, dan Philipina bertemu di Manila untuk membicarakan persiapan rencana pertemuan 3 kepala pemerintahan.
- Tanggal 9 Juli 1963. Perdana Menteri Tengku Abdul Rachman menandatangani dokumen pembentukan Negara Federasi Malaysia di London. Tindakan ini membuat negara Filipina dan Indonesia bersitegang dengan Malaysia.
- Tanggal 3 Juli – 5 Agustus 1963. Kepala pemerintahan Malaysia, Filipina, dan Indonesia mengadakan pertemuan di Manila.
Pertemuan ini menghasilkan Deklarasi Manila, Persetujuan Manila, dan Komunike Bersama. Dalam Persetujuan Manila antara lain dikatakan bahwa Indonesia dan Filipina akan menyambut baik pembentukan Federasi Malaysia apabila dukungan rakyat di daerah Borneo diselidiki oleh otoritas yang bebas dan tidak memihak, yaitu Sekretaris Jenderal PBB atau wakilnya.
- Tanggal 16 September 1963. Negara Federasi Malaysia diresmikan, tanpa menunggu hasil penyelidikan dari misi PBB. Pemerintah Indonesia menuduh Malaysia telah melanggar DeklarasiBersama.
- Tanggal 17 September 1963. Masyarakat di Jakarta mengadakan demonstrasi di Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta. Tindakan tersebut dibalas oleh masyarakat Malaysia dengan melakukan demonstrasi terhadap Kedutaan Besar Indonesia di Malaysia. Hubungan diplomatic antara Indonesia dan Malaysia putus pada tanggal 17 September 1963.
Sejak itu hubungan Indonesia dan Malaysia semakin memanas. Pada tanggal 3 Mei 1964, Presiden Soekarno sebagai Panglima Tertinggi ABRI dan kepala negara berpidato mengenai Dwikora. Isi pidato itu antara lain sebagai berikut.
Ø Perhebat revolusi Indonesia.
Ø Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sabah, Serawak, dan Brunei untuk membubarkan Negara Boneka Malaysia. Untuk menggagalkan pembentukan Negara Federasi Malaysia itu pemerintah melakukan beberapa tindakan, antara lain:
Ø pemerintah mengadakan konfrontasi senjata dengan Malaysia;
Ø pembentukan sukarelawan yang terdiri dari ABRI dan masyarakat; dan
Ø mengirimkan sukarelawan ke Singapura dan Kalimantan Utara, wilayah Malaysia, melalui Kalimantan untuk melancarkan operasi terhadap Angkatan Perang Persemakmuran Inggris
Konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia membawa beberapa akibat berikut.
v Timbulnya politik Poros Jakarta—Peking.
v Hilangnya simpati rakyat Malaysia terhadap Indonesia.
v Kerugian materi yang sudah dikeluarkan untuk biaya konfrontasi.
4. Indonesia keluar dari PBB
Dalam situasi konflik Indonesia—Malaysia, Malaysia dicalonkan sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Menanggapi pencalonan Malaysia tersebut, Presiden Soekarno pada tanggal 31 Desember 1964 menyatakan ketidaksetujuannya. Kalau PBB menerima Malaysia menjadi anggota Dewan Keamanan, Indonesia mengancam akan keluar dari PBB. Keberatan Indonesia itu disampaikan oleh Kepala Perutusan Tetap RI di PBB kepada Sekertaris Jenderal PBB, U Thant. Ancaman Indonesia tidak mendapatkan tempat di PBB. Pada tanggal 7 Januari 1965, Malaysia diterima sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
Keputusan PBB ini membuat Indonesia menyatakan diri keluar dari PBB. Indonesia tidak menjadi
anggota PBB lagi. Keluar dari PBB juga berarti keluar dari keanggotaan badan-badan PBB, khususnya UNESCO, UNICEF, dan FAO. Pernyataan resmi keluarnya pihak Indonesia dari PBB disampaikan melalui Surat Menteri Luar Negeri, Dr. Subandrio, tertanggal 20 Januari 1965. Dalam surat tersebut ditegaskan bahwa Indonesia keluar dari PBB secara resmi pada tanggal 1 Januari 1965. Jadi, alasan utama Indonesia keluar dari PBB adalah karena terpilihnya Malaysia menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
B. Keadaan ekonomi
a. Dalam bidang pembangunan
Dalam bidang pembangunan, pemerintah pada tahun 1958 mengeluarkan undang-undang pembentukan Dewan Perancang Nasional (Depernas), yakni UU No. 80 tahun 1958. Tugas Dewan Perancang Nasional adalah mempersiapkan rancangan undang-undang pembangunan nasional yang berencana dan menilai penyelenggaraan pembangunan itu. Dewan yang beranggotakan 80 orang wakil golongan masyarakat dan daerah ini semula dipimpin oleh Muhammad Yamin. Pada tanggal 26 Juli 1960, dewan ini berhasil menyusun “Rancangan Dasar Undang-Undang Pembangunan Nasional Sementara Berencana tahapan tahun 1961 – 1969” yang kemudian disetujui MPRS melalui Tap No. 2/MPRS/1960. Pada tahun 1963, Depernas diganti namanya menjadi Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas). Bappenas dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno. Badan ini bertugas untuk menyusun rencana jangka panjang dan rencana tahunan, baik nasional maupun daerah, mengawasi dan menilai pelaksanaan pembangunan, menyiapkan dan menilai Mandataris untuk MPRS.
b. Dalam bidang ekonomi–keuangan
Pada masa demokrasi terpimpin keadaan ekonomi Indonesia bisa dikatakan terpuruk dan sangat buruk. Tingkat inflasi sangat tinggi. Untuk mengatasi inflasi dan mencapai keseimbangan dan kemantapan
keadaan keuangan negara (moneter), pemerintah melakukan beberapa tindakan sebagai berikut.
Ø Mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 2 tahun 1959 yang mulai berlaku tanggal 25 Agustus 1959. Peraturan ini dikeluarkan untuk mengurangi banyaknya uang yang beredar. Untuk itu nilai uang kertas pecahan Rp. 500 dan Rp 1000 yang beredar saat itu diturunkan masing-masing menjadi Rp 50 dan Rp 100.
Ø Mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 3 tahun 1959 Tentang pembekuan sebagian dari simpanan pada bank-bank. Tujuannya untuk mengurangi banyaknya uang dalam peredaran.
Ø Mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.6 tahun 1959. Peraturan ini berisi tentang ketentuan bahwa bagian uang lembaran Rp 1000 dan Rp 500 yang masih berlaku (yang sekarang bernilai Rp 100 dan Rp 50) harus ditukar dengan uang kertas bank baru sebelum tanggal 1 Januari 1960.
Ø Menyalurkan uang dan kredit baru ke bidang usaha-usaha yang dipandang penting bagi kesejahteraan rakyat dan pembangunan.
Meskipun sudah melakukan tindakan-tindakan di atas, pemerintah gagal. Uang yang beredar semakin meningkat, sehingga inflasi juga semakin tinggi. Kenaikan jumlah uang yang beredar ini juga disebabkan
tindakan pemerintah yang mengeluarkan uang rupiah baru pada tanggal 13 Desember 1965.
Tindakan ini didasarkan pada Penetapan Presiden RI No. 27 Tahun 1965. Kegagalan pemerintah mengatur masalah keuangan dan ekonomi negara disebabkan juga oleh tidak adanya kemauan politik dari pemerintah untuk menahan diri dalam pengeluaran-pengeluarannya. Misalnya, untuk menyelenggarakan proyek- proyek mercusuar seperti Ganefo (Games of the New Emerging Forces) dan Conefo (Conference of the New Emerging Forces), pemerintah terpaksa harus mengeluarkan uang yang setiap tahun semakin besar. Akibatnya, inflasi semakin tinggi dan hargaharga barang semakin mahal sehingga rakyat kecil semakin sengsara.
c. Dalam bidang perdagangan dan perkreditan luar negeri
Negara Indonesia yang agraris belum mampu memenuhi seluruh kebutuhannya. Hasil pertanian dan perkebunan yang dihasilkan memang dapat dijual ke luar negeri melalui kegiatan ekspor. Kegiatan perdagangan luar negeri ini bertujuan untuk menghasilkan dan meningkatkan devisa. Devisa inilah yang kemudian dipakai untuk membeli barang- barang kebutuhan dari luar negeri yang belum bisa dihasilkan sendiri dalam negeri. Untuk menjaga dan mempertahankan neraca perdagangan luar negeri yang sehat, Indonesia harus meningkatkan ekspor supaya devisa semakin bisa ditingkatkan. Jika terjadi bahwa devisa yang dihasilkan dari kegiatan perdagangan luar negeri tidak mampu menutupi seluruh biaya impor barang kebutuhan, pemerintah “terpaksa” membuat utang luar negeri melalui kredit-kredit yang dikucurkan negara donor.
Dalam hal kredit luar negeri inilah Indonesia dapat terjebak dalam keputusan politik berpihak pada blok tertentu yang sedang bersitegang, entah itu Blok Barat (negara-negara demokrasi Barat) ataupun Blok Timur (negara-negara komunis). Misalnya, melalui Government to Government (G to G), pemerintah RI dan RRC mengadakan hubungan dagang yang menguntungkan kedua negara. Indonesia mengekspor karet ke RRC, tetapi dengan harga yang sangat rendah. Karet tersebut tidak langsung dikirim ke RRC, tetapi justru diolah terlebih dahulu di Singapura menjadi bahan baku yang selanjutnya diekspor Singapura ke RRC. Tentu Singapura yang menerima keuntungan lebih besar dibandingkan Indonesia. Lebih menyakitkan lagi, kapal-kapal yang membawa karet dari Indonesia hanya berhenti di wilayah teritorial Singapura. Karet- karet tersebut ditampung di kapal lain yang sudah siap membawa ke Singapura. Sementara kapal- kapal dari Indonesia meneruskan perjalanan ke Hongkong atau RRC sambil membawa karet yang sudah diolah di Singapura dan dijual dengan harga yang lebih mahal. RRC kemudian mengolah bahan baku karet dari Singapura tersebut menjadi ban dan barangbarang lainnya lalu diekspor ke Indonesia. Celakanya, barang-barang yang diekspor RRC ke Indonesia itu dijual sangat mahal dan diperhitungkan sebagai bantuan luar negeri. Hubungan perdagangan semacam ini sangat merugikan Indonesia, karena Indonesia tidak punya pilihan lain selain menjual karet ke RRC. Ini terjadi karena pemerintah RI memilih masuk dalam blok RRC dan blok negara komunis. Contoh lainnya, untuk membiayai proyek-proyek yang sedang dikerjakan dalam negeri, Presiden/ Mandataris MPRS mengeluarkan Instruksi Presiden No. 018 Tahun 1964 dan Keputusan Presiden No. 360 tahun 1964. Isi dari instruksi presiden dan keputusan presiden itu adalah ketentuan mengenai penghimpunan dan penggunaan Dana-Dana Revolusi. Dana Revolusi tersebut pada awalnya diperoleh dari pungutan uang call SPP dan pungutan yang dikenakan pada pemberian izin impor dengan deferrend payment (impor dibayar dengan kredit karena tidak cukup persediaan devisa). Dalam praktiknya, barang-barang yang diimpor dengan system kredit itu adalah barang-barang yang tidak member manfaat bagi rakyat banyak karena merupakan barang mewah atau barang perdagangan lainnya.
Akibat kebijakan luar negeri yang semacam itu, utang-utang negara bertambah besar. Sementara itu, ekspor barang ke luar negeri semakin menurun. Devisa negara juga semakin menipis. Oleh karena itu, sering terjadi bahwa beberapa negara tidak mau lagi berhubungan dagang dengan Indonesia karena utang-utangnya tidak dibayar. Di dalam negeri, situasi keuangan yang buruk ini mengganggu produksi, distribusi, dan perdagangan. Masyarakatlah yang akan mengalami kerugian dari praktik perdagangan dan perkreditan luar negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar